Selasa, 26 Oktober 2010

Pengobatan batuk

Pengobatan Batuk
Terapi batuk pertama-tama hendaknya ditujukan pada mencari dan mengobati penyebabnya, misalnya antibiotika terhadap infeksi bacterial dari saluran pernafasan (bronchitis). Kemudian, baru dapat dipertimbangkan apakah perlu diberikan terapi simtomatis guna meniadakan atau meringankan gejala batuk, dan haruslah diadakan perbedaan antara batuk produktif dan batuk non-produktif. Untuk pengobatan simtomatis ini terdapat zat-zat dengan mekanisme kerja yang sangat beraneka ragam.

Jenis Batuk
1.       Batuk produktif
Merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman, debu, dan sebagainya) dan dahak dari batang tenggorokan. Maka, pada dasarnya, jenis batuk ini tidak bleh ditekan. Tetapi, dalam prakteknya seringkali batuk yang hebat dapat mengganggu tidur dan melelahkan pasien, ataupun berbahaya, misalnya setelah pembedahan. Untuk meringankan dan mengurangi frekuensi batuk diberikan terapi simtomatis dengan obat-obat pereda batuk.
Di samping dilarang merokok, biasanya dapat dilakukan pengobatan sebagai berikut:
a.       Uap air (mendidih) yang dihirup (inhalasi) guna memperbanyak secret yang diproduksi di tenggorokan. Caqra ini efektif dan murah, terutama pada batuk “dalam”, yakni bila rangsangan batuk timbulnya dari bawah pangkal tenggorokan. Seringkali minum banyak air juga bias menghasilkan efek yang sama.
Yang juga meringankan batuk adalah menghirup uap menthol aau minyak atsiri, dengan catatan bahwa cara pengobatan ini jangan diberikan kepada anak-anak di bawah usia 2 tahun. Alasannya adalah kemungkinan terjadinya kejang larynx (laryngospasm; reflex Kretschmer) yang dapat membahayakan jiwa anak.
b.       Emolliensia (L. mollis = lunak) memperlunak rangsangan batuk, “memperlicin” tenggorokan agar tidak kering, dan melunakkan selaput lender yang teriritasi. Untuk tujuan ini, banyak digunakan sirop (Thymi dan Althaeae), zat-zat lender (Infus Carrageen), dan gula-gula, seperti drop (akar manis), permen, pastilles isap, dan sebagainya.
c.       Ekspektoransia (Lat. Ex = keluar; pectus = dada) memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan dengan demikian mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk, misalnya guaiakol, Radix Ipeca (dalam tablet/pulvis Doveri), dan amoniumklorida dalam Obat Batuk Hitam yang terkenal.
d.       Mukolitika: asetilsistein, karbosistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol.
2.       Batuk non-produktif
Bersifat “kering” tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk rejan (pertussis, kinkhoest), atau juga karena pengeluarannya memang tidak mungkin seperti pada tumor. Batuk jenis ini tidak ada manfaatnya, maka haruslah dihentikan. Untuk maksud ini, tersedia obat-obat yang berdaya menekan rangsangan batuk, yaitu zat-zat pereda, antihistaminika, dan anestetika tertentu.
a.       Zat-zat pereda. Kodein, noskapin, dekstrometorfan, dan pentoksiverin. Obat-obat ini dengan kerja sentral bekerja efektif, tetapi dapat menyebabkan ketagihan atau adiksi. Syukur sekali bahwa tidak ada satu obat pun yang dalam dosis terapeutis dapat menekan reflex batuk secara 100%, karena akan sangat berbahay berhubung dapat timbulnya bronchopneumonia.
b.       Antihistaminika: prometazin, difenhidramin, dan d-klorfeniramin. Obat-obat ini sering kali efektif pula berdasarkan efek sedatifnya dan terhadap perasaan mengelitik di tenggorokan. Antihistaminika banyak digunakan terkombinasi dengan obat-obat batuk lain dalam bentuk sirop OTC.
c.       Anestetika local: pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke pusat batuk.
Efektivitas dari ekspektoransia dan mukolitika untuk meringankan batuk menurut sejumlah peneliti masih diragukan, karena belum pernah dibuktikan tuntas secara ilmiah. Efek baik yang sering kali sihasilkan oleh obat-obat ini, diperkirakan berkat efek placebo yang terkenal besar pengaruhnya pada terapi batuk.

Obat-Obat Batuk
Antitussiva (L. tussis = batuk) atau obat batuk dapat dibagi menurut titik kerjanya dalam dua golongan besar, yakni zat-zat sentral dan zat-zat perifer.
A.      Zat-zat sentral. Obat-obat ini menekan rangsangan batuk di pusat batuk yang terletak di sumsum-lanjutan (medulla) dan mungkin juga bekerja terhadap pusat saraf lebih tinggi (di otak) dengan efek menenangkan. Zat-zat ini dapat dibedakan antara yang dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan non-adiktif.
§  Zat-zat aktif: candu (Pulvis Opii, Pulvis Doveri), kodein. Zat-zat ini termasuk dalam kelompok obat yang disebut “opioid”, yakni obat-obat yang memiliki (sebagian)sifat farmakologi dari candu (opium) atau morfin. Berhubung adanya risiko ketagihan, obat-obat ini sebaiknya digunakan dengan hati-hati dan untuk jangka waktu singkat.
B.      Zat-zat perifer. Oba-obat ini bekerja di luar SSP, jadi di periferi dan dapat dibagi pula dalam beberapa kelompok yang sudah disebutkan pula di atas, yakni emolliensia, ekspektoransia dan mukolitika, anestetika local, dan zat-zat pereda.
§  Ekspektoransia: amonumklorida, guaniakol, Ipeca, dan minyak tebang. Obat ini bekerja melalui suatu reflex dari lambung yang menstimulasi batuk. Diperkirakan bahwa sekresi dahak yang bersifat cair diperbanyak secara reflektoris atau dengan jalan efek langsung terhadap sel-sel kelenjar.
§  Mukolitika: asetilkarbosistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol. Mukolitika memiliki gugus-sulfhydryl (-SH) bebas dan berdaya mengurangi kekentalan dahak (Lat. Mucus = lender, lysis = larut) dan mengeluarkannya. Senyawa sistein dan mesna membuka jembatan disulfide di antara makromolekul yang terdapat dalam dahak. Bromheksin dan ambroxol bekerja dengan jalan memutuskan “serat-serat” mucopolysaccharida.
Mukolitika digunakan dengan efektif pada batuk dengan dahak yang kental sekali, seperti pada bronchitis, emfisema, dan mucoviscidosis (= cystic fibrosis). Zat-zat ini mempermudah pengeluaran dahak yang telah menjadi lebih encer melalui proses batuk atau dengan bantuan cilia dari epitel. Tetapi, pada umumnya zat-zat ini tidak berguna ila gerakan cilia terganggu, misalnya pada perokok atau akibat infeksi.
§  Zat-zat pereda: oksolamin dan tipepidin (Asvex). Obat-obat ini dapat meredakan batuk dengan cara menghambat reseptor sensible di saluran napas, dengan akibat berkurangnya rangsangan batuk.

*     Kehamilan dan laktasi
      Kodein, noskapin, d-metorfan boleh digunakan selama masa kehamilan dan laktasi, begitu pula mukolitika, amoniumklorida, dan Ipeca. Oksolamin dan mesna keamanannya. Pentoksiverin tiak boleh digunakan selama laktasi, karena mencapai air susu dan dapat mengakibatkan napas pada bayi.




ZAT-ZAT TERSENDIRI

1.       Zat-zat pereda sentral
a.       Keodein (F.I): metilmorfin, *Codipront
Alkaloida candu ini memiliki sifat menyerupai morfin, tetapi efek analgetis dan meredakan batuknya jauh lebih lemah, begitu pula efek depresinya terhadap pernapasan. Obat ini banyak digunakan sebagai pereda batuk dan penghilang rasa sakit, biasanya dikombinasi dengan asetosal yang memberikan efek potensiasi. Dosis analgetis yang efektif terletak di anatara 15 – 60 mg. Sama dengan morfin, kodein juga dapat membebaskan histamine (histamine-liberator).
            Reseorpsinya dari usus jauh lebih baik daripada morfin, begitu pula FPE-nya lebih ringan, hingga lebih kurang 70% mencapai sirkulasi besar. PP-nya hanya 7%, plasma t-nya 3-4 jam. DAlam hati zat ini diuraikan menjadi norkodein dan 10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgetisnya. Metabolitnya diekskresikan sebagai glukuroida melalui kemih, bersama 5-15% dalam keadaan utuh.
Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa dan terbatas pada obstipasi, mual dan muntah, pusing, dan termangu-mangu. Pada anak kecil dapat terjadi konvulsi dan depresi pernapasan. Dalam dosis tinggi dapat menimbulkan efek sentral tersebut. Walaupun kurang hebat dan lebih jarang daripada morfin, obat ini dapat pula mengakibatkan ketagihan.
Dosis: oral sebagai aalgetikum dan pereda batuk 3-5 dd 10-40 mg dan maksimum 200 mg sehari. Pada diare 3-4 dd 25-40 mg.
b.       Noskapin
Alkaloida candu alamiah ini tidak memiliki rumus fenantren, seperti kodein dan morfin, melainkan termasuk dalam kelompok benzilisokinolin seperti alkaloda candu lainnya (papaverin dan tebain). Efek meredakan batuknya tidak sekuat kodein, tetapi tidak mengakibatkan depresi pernapasan atau obstipasi, sedangkan efk sedatifnya dapat diabaikan. Risiko adiksinya ringan sekali. Berkat sifat baik ini, kini obat ini banyak digunakan dalam berbagai sediaan obat batuk popular.
            Noskapin tidak bersifat analgetis dan merupakan pembebas histamine yang kuat dengan efek bronchokonstriksi dan hipotensi (selewat) pada dosis besar.
Efek sampingnya jarang terjad dan berupa nyeri kepala, reaksi kulit, dan perasaan suf.
Dosis: oral 3-4 kali sehari 15-50 mg, maksimal 250 mg sehari.
c.       Dekstrometofan: methoxylevorphanol, Detusif, *Romilar/exp, *Benadryl DMP
Derivat-fenantren ini (1953) berkhasiat menekan batuk, yang sama kuatnya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama dan tidak bersifat analgetis, sedative, sembelit, atau adiktif. Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat batuk di otak. Pada peyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat terjadi efek stimulasi SP.
Resorpsinya dari usus pesat dan mengalami FPE luas, di mana terbentuk glukuronida aktif dari dextorfan (=isomer-dekstro dari levorfanol). Plasma t-nya bervariasi secara individual, dari 2-4 jam sampai 45 jam.
Efek sampingnya hanya ringan dan terbatas pada rasa mengantuk, termangu-mangu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan lambung-usus.
Dosis: oral 3-4 dd 10-20 mg (bromide) p.c., anak-anak 2-6 tahun 3-4 dd 8 mg, 6-12 tahun 3-4 dd 15 mg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar