Selasa, 26 Oktober 2010

PENYIMPANGAN TRANSDUKSI SINYAL DAN KELAINAN MEMBRAN PADA AUTIS



Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) atau leukemia granulositik kronik adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak ditemukan pada anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.

Etiologi
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah:
1.   radiasi ionik
      Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA.
2.   Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia
3.   Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia di atas 60 tahun
4.   Obat kemoterapi
5.   Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6.   Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.

Patogenesis Molekular
Pada LLA dikenal kelainan yang disebut kromosom Ph. Pada kromosom Ph ini sebenarnya terjadi perpindahan yang bersifat resiprokal antara sebagian dari gen abl di kromosom 9 dan sebagian gen bcr di kromosom 22 sehingga terbentuk gen chimera yaitu gen bcr-abl. Sedikitnya ada dua varian gen bcr-abl ini yaitu varian yang membentuk protein p210 dan varian yang membentuk protein p190.
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada LLA dewasa adalah t(9;22)/BCR-ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini berhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dan 22 [t(9;22)(q34;q11)] yang dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis atau reverse-transcriptase polymerase chain reaction. ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang buruk; sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.

Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu dan dapat memberikan informasi prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5% LMA dewasa dan 20%-30% LLA dewasa.

Biologi Molekular
Untuk menemukan translokasi t(9q,22q) pada leukemia granulositik kronik atau leukemia limfoblastik akut selain dengan cara karyotyping dapat juga dilakukan dengan teknik biologi molekular. Translokasi gen bcr (breakpoint cluster region) pada kromosom 22 ke gen abl (Abelson) pada kromosom 9 menyebabkan terbentuknya gen baru yaitu gen bcr-abl yang tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik masing-masing gen asalnya. Ada dua cara untuk mendeteksi translokasi ini secara biologi molekular.
Cara pertama adalah dengan memanfaatkan perbedaan titik potong pada untaian DNA yang terdapat di gen chimera dan yang terdapat pada masing-masing gen asalnya oleh enzim endonuklease restriksi. Setelah DNA dipotong dengan enzim tersebut lalu dilakukan elektroforesis, selanjutnya dilakukan transfer Southern ke membran nilon atau nitroselulosa. Pelacak DNA yang dapat dibeli secara komersial hanya akan berhibridisasi dengan potongan DNA yang berasal dari gen bcr-abl dan tidak akan berhibridisasi dengan potongan DNA yang berasal dari masing-masing gen asal. Jadi bila ditemukan hibridisasi pelacak DNA maka itu berarti terjadi translokasi, demikian pula sebaliknya. Dengan teknik ini dapat dibuktikan bahwa titik pisah yang terdapat pada gen bcr sedikitnya ada dua tempat, yang diduga berhubungan dengan jenis krisis blastik yang terjadi pada pasien LGK.
Cara kedua adalah dengan teknik rt-pcr. Teknik ini memanfaatkan perbedaan yang terjadi pada transkripsi DNA gen menjadi mRNA, mRNA yang berasal dari fusi gen bcr-abl tentu berbeda urutan basanya dengan urutan basa mRNA yang berasal dari transkripsi masing-masing gen asal. Dengan menggunakan primer yang hanya dapat beranneal dengan gen fusi, maka tentu saja bila fusi tidak terjadi tidak ada produk rt-pcr. Dengan menggunakan 2 pasang primer yang berbeda ternyata dapat ditemukan 2 jenis fusi gen bcr-abl yang tergantung dari letak titik pisah pada gen bcr. Kedua jenis gen fusi tersebut menghasilkan produk rt-pcr yang berbeda ukurannya yaitu masing-masing berukuran 456 bp dan 385 bp17. Pemeriksaan molekular untuk gen bcr-abl ini bermanfaat untuk melihat sisa penyakit minimal (minimal residual disease=mrd) pada pasien LGK yang mendapat transplantasi sumsum tulang, di samping itu juga untuk memantau terjadinya relaps atau kegagalan tumbuh transplant.

Terapi
Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi, dan pada beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan untuk eradikasi populasi sel leukemia. Terapi LLA dibagi menjadi induksi remisi, intensifikasi atau konsolidasi, profilaksis susunan saraf pusat (SSP), dan pemeliharaan jangka panjang.

Terapi untuk B-ALL
Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen LLA konvensional. Karena kecepatan proliferasi sel-sel leukemianya tinggi, maka diberikan terapi hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi Saat ini tidak ada terapi yang efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.
Siklofosfamid
            Siklofosfamid, alkilator yang paling banyak digunakan, ialah ester fosfamid siklik mekloretamin.Obat ini bersifat nonspesifik terhadap siklus sel dan efektif terhadap penyakit Hodgkin terutama dalam kombinasi dengan kortikosteroid dan vinkristin . Siklofosfamid merupakan salah satu obat primer terhadap neuroblastoma pada anak dan sering dikombinasikan dengan antikanker lain untuk leukemia limfoblastik pada anak. Karena berupa pro drug, maka efek siklofosfamid dipengaruhi oleh penghambat atau perangsang enzim metabolismenya. Sebaliknya, obat ini merangsang enzim mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas obat lain.


Metotreksat
Metotreksat adalah analog 4-amino, N10-metil asam folat. Pada leukemia limfoblastik akut pada anak, metotreksat sebagai obat tunggal memberi remisi lengkap pada 20% pasien; dalam kombinasi dengan prednison remis lengkap mencapai 80%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar